BERBURU HIDDEN INCOME I

Diposting oleh adi_true | Senin, September 07, 2009 | | 0 komentar »

Oleh: Rhenald Kasali
Di tahun 1980-an, korupsi sudah mulai tampak menjadi penyakit masyarakat. Berbeda dengan sekarang, di tahun-tahun itu ia masih berbentuk stadium 1. Tanda-tandanya cuma ada di luar, berbentuk penyakit kulit. Karena tampak di luar, maka ia sangat kasat mata. Di jalan raya dikenal istilah polisi “Prit Jigo”. Di jembatan timbang, truk-truk juga kena sempritan jigo. Demikian juga di kas-kas negara.

Dua orang muncul secara bergantian membersihkan penyakit itu. Pertama adalah MenPan, Prof. Dr. Sumarlin yang seperti MenPan sekarang, saat itu wajahnya tidak begitu dikenal publik. Memakai peci hitam persis pegawai negeri golongan IA, Sumarlin melakukan penyamaran di counter-counter layanan publik. Di RSCM, Sumarlin menemukan penyimpangan itu. Seseorang telah menerima pembayaran tanpa kuitansi, yang artinya uang tidak masuk ke kas negara. Kisah penyamaran Sumarlin saat itu populer sekali sehingga cukup menimbulkan ketakutan aparat publik melakukan penyimpangan.

Tapi upaya pembersihan tampaknya kurang terprogram dengan baik. Selain tak punya konsep yang jelas, prioritas pembangunan tampaknya belum kesana. Tak lama kemudian kita menyadari, korupsi sudah memasuki stadium 2, artinya, ia sudah cukup meresahkan masyarakat, apalagi yang menjadi korban kalangan kelas bawah: sopir-sopir bus, truk dan taksi, para pencari kerja, pensiunan, pengurus kartu tanda penduduk, dan sebagainya.

Maka bergegaslah Laksamana Soedomo, orang kepercayaan paling dekat presiden Soeharto saat itu. Atas kekuasaannya di Kopkamtib saat itu ia menilai korupsi telah menggangu ketertiban. Kotak pos pengaduan dibuka, dan dimulailah Opstib. Soedomo menjadi sangat populer karena operasinya berhasil mengungkap sejumlah kasus. Beberapa ratu dan raja pungli menjadi korban dan jembatan timbang pun ditutup.

Tahun 1990-an, korupsi ternyata tak hilang juga, melainkan sudah merasuk ke mana-mana. Di masyarakat suara itu terdengar semakin keras. Polisi-polisi muda mengeluh tak bisa naik pangkat kalau tak disekolahkan, dan konon namanya tak masuk dalam daftar kalau tak membayar seratus juta rupiah. Seorang calon pegawai negeri sipil mengaku harus membayar seharga Toyota Kijang untuk diterima. Seorang tokoh masyarakat mengatakan perkaranya di kepolisian tak bisa selesai karena lawannya adalah “bandar” yang membiayai tokoh polisi lain saat sekolah dulu. Terdakwa lain bisa bebas sehari setelah seorang petugas dari mahkamah agung bertandang ke rumahnya. Selanjutnya penyakit ini juga telah mengganggu perekonomian. Para bupati meminta uang. Kepala-kepala dinas kesehatan meminta “diskon” dari perusahaan farmasi, bahkan menaikkan “biaya” untuk menyalurkan obat generik warganya yang miskin. Singkatnya, korupsi telah memasuki stadium 4 dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Praktis sepanjang tahun 1990-an upaya pembersihan korupsi lenyap begitu saja. Semua orang telah ikut terlibat di dalamnya dan turut kecipratan. Satu-satunya upaya yang terdengar saat itu adalah naiknya gaji hakim agar para penegak hukum bisa bertindak lebih berani.

Di tahun 2000-an semua orang frustasi. Penyakit ini mulai tampak menjadi hal yang biasa, merupakan bagian kehidupan yang tidak ada apa-apanya. Stadium 4, tapi tidak mati-mati. Bahkan ia menjadi hal yang biasa di parlemen. Kali ini para politisi kelihatan hidup bergelimpangan uang. Mereka tak henti-hentinya memanggil pejabat perbankan untuk dengar pendapat. Orang-orang bank bolak-balik gedung DPR, bukan menemui anak buah atau nasabah-nasabahnya. Semua itu rupanya ada artinya.

Sebuah survei yang dilakukan oleh USAID pada tahun 2003 menemukan, sebanyak 52% responden mengaku biaya korupsi itu terpaksa harus dibebankan pada keuntungan yang seharusnya diterima. Sebanyak 12,5% responden mengaku mengalihkan semua beban itu kepada konsumen. Hanya sebagian kecil yang mengaku membagi rata, sebagian kepada pembeli, sebagian pada mereka sendiri.

Menjadi pertanyaan adalah di mana peranan birokrasi? Korupsi tahun 2000-an kental mewarnai para politisi. Selain karena biaya menjadi Caleg atau Calon bupati begitu besar, partai-partai baru jelas butuh uang. Maka tak heran bila kalangan politisi mendapat sorotan besar. Sampai di sini birokrasi tampaknya hanya menjadi penonton. Gaji para birokrat yang sudah kecil menjadi semakin lebar gap-nya dengan gaji para politisi yang memang direstui tinggi.

Tetapi sepinya berita tentang korupsi di birokrasi bukan berarti tak ada masalah. Birokrasi kita menyimpan segudang masalah. Seperti pohon-pohon yang tak pernah disentuh oleh pemiliknya, ia telah menjadi tanaman liar yang kering, hidup kurang bergairah dan benar-benar malas. Ia juga telah menjadi makhluk gemuk yang penuh air, berjalan lamban seperti makhluk yang kurang gizi.

Sebuah studi lain tentang otonomi daerah menyebutkan masalah terbesar dalam pembangunan dan investasi bukanlah infrastruktur atau ketidakpastian, melainkan “hidden income” yang diterima oleh para birokrat.

Seorang pengusaha besar mengusulkan agar segera dilakukan proses debirokratisasi. Istilah ini tentu bermakna ganda, yaitu mengurangi peran birokrasi, atau mengurangi jumlah birokrat. Saya lalu mengintip besarnya gaji yang mereka terima. Mereka ternyata menerima sungguh jauh di bawah garis kelayakan untuk hidup. Tetapi jumlah orangnya memang sangat besar. Maka wajarlah kalau di birokrasi sebagian besar orang berburu “the hidden income”, baik yang legal maupun yang ilegal.

Perburuan hidden income ini ternyata telah menimbulkan demikian banyak masalah. Ia bukan cuma merusak nilai-nilai dalam masyarakat dan perekonomian, melainkan juga di dalam organisasi pemerintahan itu sendiri

0 komentar