BERBURU HIDDEN INCOME II

Diposting oleh adi_true | Senin, September 07, 2009 | | 0 komentar »

Oleh: Rhenald Kasali
Buruknya sistem penggajian di dunia birokrasi telah mengakibatkan terjadinya perburuan terhadap “hidden income”. Dengan basis gaji yang rendah, maka seorang birokrat mempunyai kesempatan memperoleh penghasilan “lain-lain” dari dua sumber, yaitu sumber yang legal maupun yang tidak legal. Besarnya dan komposisinya sangat tergantung pada posisi, dan tentu saja hati nurani. Dengan demikian sistem penggajian berpeluang besar bagi terjadinya korupsi, tetapi yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah bukan korupsi itu sendiri, tetapi perilaku terhadap pekerjaan dan profesi yang cenderung “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”, atau “kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat.”

Akibatnya tentu sangat berbahaya. Kegiatan bisnis menjadi sangat tidak efisien karena hambatan justru datang dari birokrasi. Proses bisnis dan perijinan, panjang dan tak jelas. Pelayanan publik merosot. Kepuasan kerja rendah. Tingkat konflik serta politik kantor tinggi. Wibawa pemerintah buruk, dan tentu saja mereka enggan untuk berubah, malas untuk belajar hal yang baru, serta menghambat yang mau bekerja keras serta jujur. Kalau sudah begini, bagaimana mau naik haji dengan biaya yang terjangkau? Bagaimana mau meningkatkan ekspor? Bagaimana menata TKI ilegal? Atau bagaimana mencegah agar Adrian-adrian Waworuntu yang lain tidak kabur dari penjara? Demikian pula bagaimana mau membuat produk yang dihasilkan bangsa ini kompetitif di pasar global?

Buruknya sistem penggajian, singkatnya, berpengaruh kemana-mana. Tentu saja hal ini memerlukan pemikiran yang sangat serius dari para pemimpin, tetapi dengan meningkatkan tingkat gaji, bukan dengan sendirinya kita bisa menghapus korupsi. Sistem penggajian bukanlah segala-galanya. Ia harus dikelola bersama-sama dengan pendekatan-pendekatan manajemen modern lainnya.

Baiklah kita kembali ke “hidden income” lebih dulu.
Dengan basis gaji yang rendah, setiap atasan di dunia birokrasi umumnya dipacu untuk berpikir ekstra keras. Seorang atasan di departemen keuangan mengaku setiap hari ia harus mendengarkan dua sampai lima orang karyawannya yang meminta bantuan. Ada yang datang karena mau menikah, anak mau masuk sekolah, rumah banjir, cicilan motor tidak bisa dibayar, dan seterusnya. Sebagai atasan, ia harus memikirkan semua itu. Belum lagi memikirkan bagaimana memacu motivasi staf-stafnya yang relatif lebih berpendidikan. Darimana mereka harus dibayar?

Di Birokrasi ada dua sumber, yaitu sumber yang legal dan tidak legal. Tentu saja bagi para birokrat, yang tidak legal itu lama-lama tidak dipandang lagi sebagai tidak legal, melainkan sekedar “kurang legal”. Sumber yang legal adalah SPJ, dan uang proyek. Supaya ada uang tambahan, seseorang bisa ditugaskan ke luar kota, atau diberi pekerjaan berupa “proyek”. Meski tidak besar, toh jumlahnya lumayan dan cukup memberi nafas lega.

Yang jadi masalah tentu saja sumber-sumber yang tidak atau kurang ilegal. Sumber ini sering disebut sebagai dana taktis, dan pengelolanya dilakukan oleh beberapa pihak. Dana taktis ini besarnya amat beragam. Ada yang sekadarnya, tapi ada juga yang sangat besar. Seorang teman bahkan mensinyalir ada pengelola dana yang sampai bisa mengatur penempatan seorang pejabat. Tentu saja termasuk untuk memberhentikannya kalau ia dianggap telah mengganggu kenyamanan mereka. Di tempat yang lain, dana taktis bisa dipakai sampai membiayai kolam renang sekelas olimpiade. Jadi unsur kesejahteraan dijamin sudah bereslah, tapi nanti dulu. Karena dana itu ilegal, maka dikelolanya pun oleh orang perorangan dan secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang dibuat setengah legal, yaitu dikelola oleh yayasan. Nah, yayasan ini setiap bulan memberikan kontribusi kesejahteraan, tetapi karena dikelola oleh orang-orang tertentu, maka tentu saja ada yang kebagian sedikit dan ada yang kebagian di luar batas. Seorang teman yang lain mengaku di kantornya ada yang hidup di Brunei Darussalam (artinya serba berlebihan), dan ada yang kebagian hidup di Sudan (hidup serba kekurangan).

Hidup seperti ini tentu sangat rawan. Rawan bagi PNS dan rawan bagi perekonomian negara. Hidden Income telah membentuk perilaku yang buruk. Studi yang dilakukan oleh UNPAN, menemukan gaji PNS di Indonesia adalah yang terendah ke-2 di Asean (setelah Kamboja). Di Indonesia gaji PNS berkisar antara US$42.55 hingga US$120. Sedangkan di Thailand antara US$102,50 hingga US$1,477. Bahkan di Filipina saja sudah mencapai US$108 – US$1,031. Sementara itu Hay Consulting menemukan di sektor swasta, seseorang berpendidikan S1 yang baru lulus bisa memperoleh gaji sekitar Rp2,7 juta di sini. Apa akibatnya kalau PNS terus bergaji kecil dan mengandalkan hidden income?

Pertama, hidden income akan mendorong PNS untuk memaksimalkan penghasilan tidak resminya, dan itu berarti penyimpangan, dan besarnya semakin hari akan semakin besar dan menggurita. Kedua, hidden income akan mempengaruhi wibawa pemerintah, di dalam maupun di luar negeri. Ketiga, hidden income mengakibatkan hambatan-hambatan ekonomi.

Lantas bagaimana mengatasi semua ini?
Saya berpikir sudah saatnya pemerintah menyentuh birokrasi kita. Mitos bahwa PNS tidak dapat diberhentikan kalau melakukan kesalahan, atau tidak produktif sudah harus sudah ditinggalkan. Kedua, sistem penggajian harus segera diperbaharui, dan pada saat yang bersamaan budaya baru dan change management mulai diterapkan. Ketiga, diperlukan mekanisme baru untuk mengukur kinerja PNS, dan ini berarti memerlukan patokan-patokan baru. Tentu saja semua ini tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Adakah kemauan untuk sedikit berjerih payah di sini

0 komentar